Senin, 11 April 2016

IPK Tinggi?



JIKA KAMU MENDEWAKAN IPK TINGGI RENUNGKANLAH 15 PERTANYAAN INI
By Alwi Yasi N  (3211414025)
 

Saat yudisium tiba, tidak ada yang lebih penting buat mahasiswa selain nilai. Tiap mahasiswa pasti penasaran dengan indeks kumulatif yang diperolehnya. Sangking penasarannya, banyak mahasiswa yang begadang sampai jam 00.00 supaya segera lihat nilainya. Gagal loading, coba lagi. Gagal lagi, coba lagi.
Perasaan senang hinggap kalau IPK kita cumlaude. Dengan gaya sok rendah hati yang dibuat-buat, kita, akan memposting transkip nilai di Facebook.
Tapi kalau IPK kita jeblok, dengan nada tegar yang dibuat-buat kita yang akan nulis status “IPK bukan segalanya” Atau, “Yang penting adalah proses mendapatkannya.” Hak untuk bangga atau tidak terhadap IPK adalah hak personal. Tapi, ada baiknya kalau mahasiswa merenungkan 15 pertanyaan ini :
1.      Bagaimana IPK dibuat?
Di dunia akademik, metodologi adalah hal penting yang tak boleh diabaikan. Dalam penelitian, misalnya, peneliti harus pertanggungjawabkan sumber dan analisis datanya. Dari mana data berasal? Bagaimana data itu diolah dan dianalisis?
Idealnya, pertanyaannya serupa juga perlu diungkapkan terhadap IPK. Bagaimana dosen memunculkan angka 0 sampai 4 itu di kartu hasil studimu?
Secara normatif, skala 0 sampai 4 pada IPK adalah akumulasi penilaian kumulatif dari nilai tugas, nilai Ujian Tengah Semester. Ketiga komponen itu dijumlahkan dengan rasio bobot tertentu. Ada dosen yang membuat rasio 1:1:1, ada yang 1:2:3, ada juga yang 2:1:2. Tapi apakah perhitungan itu dilakukan secara ketat? Hanya Tuhan dan dosenmu yang tahu.
2.      Mengapa Universitas perlu membuat IPK ?
Universitas menggunakan IPK sebagai alat ukur. Alat ukur biasanya menghasilkan angka atau tanda lain yang mempresentasikan sebuah kondisi. Angka atau tanda ini kemudian dibaca untuk mengetahui kondisi aktual. Dalam hal IP, kondisi yang ingin diketahui adalah perkembangan performa akademik mahasiswa.
Dengan IP, universitas bisa membuat kebijakan yang sesuai kebutuhan mahasiswa. Misalnya, mahasiswa ber-IPK rendah harus mengikuti pendalaman. Adapun mahasiswa IPK tinggi boleh mengikuti kuliah lanjutan.
3.      Mengapa di Dunia ini Harus Ada IPK?
Para pemikir positif zaman dulu percaya bahwa realitas hanyalah sesuatu yang dapat dilihat, diamati, diukur. Diluar sesuatu yang dilihat hanyalah takhayul, omong kosong atau ilusi.
Kayakinan ini tampaknya diadopsi oleh para akademisi beraliran sama. Mereka hanya percaya sesuatu ada jika tampak, terlihat dan terukur. Mereka baru percaya bahwa seseorang mampu, paham, atau menghayati jika ada indikatornya.
Keyakinan semacam inilah mendorong para dosen membuat alat ukur dengan berbagai alat tes. Dulu orang percaya soal pilihan ganda cukup akurat. Belakangan, orang yakin soal pilihan ganda adalah kekonyolan sehingga perlu ditinggalkan.
Untuk menggantikan itu, para dosen membuat alat ukurlain, misal ujian tulis, menulis makalah, atau portofolio.
4.      Apakah IPK Cukup Akurat untuk Menilai Prestasi Mahasiswa?
Jika digunakan untuk mengukur aspek kognitif, tes-tes tertulis mungkin cukup memadai. Tapi, tes-tes semacam itu tidak bisa membaca aspek aspek kemanusiaan lain, misalnya keyakinan, penghayatan, dan pengamalan. Padahal ketiga hal itu merupakan tujuan tertinggi pendidikan.
Ada sebuah kasus. Seorang guru agama Islam menggelar ujian lisan dan meminta siswanya menghafal surat Al-Maa’uun. Siswa A mendapat nilai bagus karena hafal surat pendek itu. Tapi siswa B justru mendapat nilai jelek. Siswa B tidak hafal surat Al Ma’un, meskipun ia hafal surat Ali Imron.
5.      Benarkah Orang Tua Kita Senang IPK Kita Tinggi?
Tiap orang tua berharap anaknya jadi orang baik apapun profesinya. Jika anaknya kuliah, tentu saja orang tua ingin anaknya jadi lebih cerdas dari sebelumnya. Beberapa orang tua bangga anaknya ber-IP tinggi karena bisa dijadikan bahan obrolan di kantor. Beberapa orang tua senang anaknya cepat lulus supaya bisa dipamerkan dengan tetangga.
Tapi ada juga orang tua yang tak ambil pusing dengan IPK anaknya. Mereka woles. Asal kamu bahagia, dia ikut bahagia juga, berapapun IPK mu.
6.      Jika IPK Saya Rendah, Apakah Berarti Saya Bodoh?
Masih ingat pidato kelulusan? Lulusan terbaik itu menyinggung satu hal penting. “ Saya lulus. Seharusnya saya menganggapnya sebagai sebuah pengalaman yang menyenangkan, terutama karena saya adalah lulusan terbaik di kelas saya. Namun setelah direnungkan saya tidak bisa mengatakan kalau saya memang lebih pintar dibandingkan dengan teman teman saya. Yang bisa saya katakan adalah kalau saya memang adalah yang terbaik dalam melakukan apa yang diperintahkan kepada saya dan juga dalam hal mengikuti sistem yang ada.” Erica percaya, untuk dapat nilai bagus mahasiswa hanya harus melakukan hal yang sangat sederhana : turuti dosen. Kalau bisa beri lebih yang mereka minta. Dosen suruh buat 1 makalah, buatlah 3 makalah. Dosen minta anda presentasi, berkhutbahlah! Dosen minta anda rajin kuliah, berangkatlah ke kampus sebelum Subuh.
Tapi itu pilihan yang punya resiko juga. Jika kamu terlalu sibuk menuruti keinginan dosen, kamu justru tidak sempat menuruti keinginanmu sendiri.
Saat mahasiswa lain naik gunung, kamu di kos kerjakan laporan praktikum. Saat temanmu rafting di Serayu, kamu justru buat paper. Sementara temanmu pergi ke bioskop bersama pacar, kamu malah antri di servisan komputer gara-gara leptopmu njebluk! 
7.      Apakah IPK Berpengaruh Terhadap Masa Depan Saya?
Tergantung kamu pengin jadi apa kelak. Kalau mau jadi karyawan tentu kamu perlu IPK bagus supaya bisa ikut rekrutmen. Tapi kalau kamu pengin jadi pengusaha, yang lebih kamu perlukan adalah kecakapan berinovasi dan mental baja.
Kalau kamu pengin jadi pengacara dan buka firma hukum sendiri, IPK tinggi juga tidak mutlak diperlukan. Yang lebih kamu perlukan adalah kecakapan analisis.
Kalau kamu pengin jadi seniman, berkreasilah. Buatlah sesuatu yang bisa dinikmati banyak orang.
8.      Benarkah Perusahaan Suka Karyawan Ber-IPK Tinggi?
Beberpa perusahaan membuat syarat ketat saat rekrutmen. Biasanya mereka hanya mengizinkan sarjana dengan IPK diatas 2,75 untuk ikut seleksi. Sikap perusahaan ini menurut beberapa analisis bukan strategi merekrut mahasiswa cerdas. Mereka hanya sedang menghindari merekrut karyawan malas. Sebab IPK 2,75 itu standar. Itu bisa diperoleh dengan cara cara standar. Berangkat kuliah, presensi, nulis makalah, lalu ikut ujian. Jika IPK mu dibawah itu, ada kemungkinan kamu malas. Itu saja.
9.      Apakah IPK Membantu Kita Memperoleh Jodoh Idaman?
Menurut analisis psikologi sosial Prof Yamato, jumlah cowok yang tertarik dengan cewek karena kecerdasannya tidak lebih banyak daripada jumlah cowok yang tertarik dengan cewek karena fisiknya. Kalau kamu tidak percaya, perhatikanlah saat cowok ngobrol dengan cewek yang baru dikenalnya. Dia memang berlagak memperhatikan pembicaraan, tapi percayalah pandangan matanya akan meluber kemana mana.
Begitu pula buat cowok nih. Cewek tidak tertarik dengan cowok pintar (apalagi sok pintar!). Lebih banyak perempuan justru lebih tertarik dengan laki laki yang membuatnya nyaman. Kamu bisa lihat sendiri di sekolah. Populasi jomblo lebih banyak diisi oleh pecinta karya ilmiah. Cowok yang bisa masukkan bola ke keranjang setinggi 3 meter justru sering gonta ganti pacar kan?
10.  Apakah Calon Mertua Menanyakan IPK Saat Lamaran?
Tentu saja iya (jika calon mertuamu adalah dosen pembimbing skripsimu di kampus). Bukan cuma tanya IPK, dia bahkan akan tanya kenapa rasio sample dan populasi tidak representatif. Dia akan tanya bagaimana data A dan B ditriangulasikan. Tapi kalau calon mertuamu adalah dai, dia tidak akan tanya IPK. Dia cuma akan memintamu sholat yang rajin.
11.  Apakah IPK Tinggi Bisa Digunakan ke Bank?
Tidak! Bank tidak peduli dengan kepintaran orang di sekolah. Bank lebih peduli pada kepintaran orang menghasilkan uang. Ini memang fakta yang kejam. Tapi memang begitulah cara bank bekerja. Mereka bisa memberi kredit 5 miliar pada juragan tanah lulusan SD, tapi susah sekali
12.  Berapa IPK yang Diperlukan Agar Bisa Jadi Presiden?
IPK Joko Widodo saat kuliah di Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada hanya 3,05. Tapi dia jadi presiden negara terbesar keempat di dunia.
Presiden Amerika Serikat Barack Obama lulus dari Jurusan Ilmu Politik Columbia Univercity, tapi tanpa penghargaan. Konon dia bisa diterima di Harvard Law School karena politik afirmasi ras. Selain itu, saat karirnya sedang bersinar sebagai tokoh politik berhaluan liberal.
Tersebar guyon, sarjana dengan nilai A atau cocoknya jadi dosen, peneliti, atau ilmuwan. Kalau nilainya B cocok jadi karyawan atau PNS. Kalau nilainya C cocok jadi pengusaha. Kalau C atau D cocoknya jadi politisi.
13.  Jika Ditanya, Apa yang Dibawa Mati? Nilai IPK atau Proses Mendapatkan IPK?
Sebagi orang yang beriman tentu kita sudah tahu jawabannya.
14.  Apakah Soekarno Pernah Nyontek Supaya dapat IPK Bagus?
Saat sekolah Teknik di Bandung dia pernah bekerja sama dengan mahasiswa lain saat ujian. Dan dia menyebut itu sebagai “gotong-royong”. Tidak percaya? Bacalah buku Penyambung Lidah Rakyat karya Cindy Adam.
15.  Pertanyaan yang Terpenting Kapan Kampus Akan Berhenti Memproduksi IPK?
Segera. Tidak lama lagi orang tidak percaya lagi dengan oenilaian kuantitatif. Masyarakat ingin penilaian akademik yang lebih otentik. Saat itulah kampus akan berhenti memproduksi angka-angka.

Sumber : Bangun Indonesia 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar