JIKA KAMU MENDEWAKAN IPK TINGGI
RENUNGKANLAH 15 PERTANYAAN INI
By Alwi Yasi N (3211414025)
Saat yudisium tiba, tidak ada yang
lebih penting buat mahasiswa selain nilai. Tiap mahasiswa pasti penasaran
dengan indeks kumulatif yang diperolehnya. Sangking penasarannya, banyak
mahasiswa yang begadang sampai jam 00.00 supaya segera lihat nilainya. Gagal
loading, coba lagi. Gagal lagi, coba lagi.
Perasaan senang hinggap kalau IPK
kita cumlaude. Dengan gaya sok rendah hati yang dibuat-buat, kita, akan
memposting transkip nilai di Facebook.
Tapi kalau IPK kita jeblok, dengan
nada tegar yang dibuat-buat kita yang akan nulis status “IPK bukan segalanya”
Atau, “Yang penting adalah proses mendapatkannya.” Hak untuk bangga atau tidak
terhadap IPK adalah hak personal. Tapi, ada baiknya kalau mahasiswa merenungkan
15 pertanyaan ini :
1. Bagaimana IPK dibuat?
Di dunia akademik, metodologi adalah hal penting yang
tak boleh diabaikan. Dalam penelitian, misalnya, peneliti harus
pertanggungjawabkan sumber dan analisis datanya. Dari mana data berasal?
Bagaimana data itu diolah dan dianalisis?
Idealnya, pertanyaannya serupa juga perlu diungkapkan
terhadap IPK. Bagaimana dosen memunculkan angka 0 sampai 4 itu di kartu hasil
studimu?
Secara normatif, skala 0 sampai 4 pada IPK adalah
akumulasi penilaian kumulatif dari nilai tugas, nilai Ujian Tengah Semester.
Ketiga komponen itu dijumlahkan dengan rasio bobot tertentu. Ada dosen yang
membuat rasio 1:1:1, ada yang 1:2:3, ada juga yang 2:1:2. Tapi apakah
perhitungan itu dilakukan secara ketat? Hanya Tuhan dan dosenmu yang tahu.
2. Mengapa Universitas perlu membuat
IPK ?
Universitas menggunakan IPK sebagai alat ukur. Alat
ukur biasanya menghasilkan angka atau tanda lain yang mempresentasikan sebuah
kondisi. Angka atau tanda ini kemudian dibaca untuk mengetahui kondisi aktual.
Dalam hal IP, kondisi yang ingin diketahui adalah perkembangan performa
akademik mahasiswa.
Dengan IP, universitas bisa membuat kebijakan yang
sesuai kebutuhan mahasiswa. Misalnya, mahasiswa ber-IPK rendah harus mengikuti
pendalaman. Adapun mahasiswa IPK tinggi boleh mengikuti kuliah lanjutan.
3. Mengapa di Dunia ini Harus Ada IPK?
Para pemikir positif zaman dulu percaya bahwa realitas
hanyalah sesuatu yang dapat dilihat, diamati, diukur. Diluar sesuatu yang
dilihat hanyalah takhayul, omong kosong atau ilusi.
Kayakinan ini tampaknya diadopsi oleh para akademisi
beraliran sama. Mereka hanya percaya sesuatu ada jika tampak, terlihat dan terukur.
Mereka baru percaya bahwa seseorang mampu, paham, atau menghayati jika ada
indikatornya.
Keyakinan semacam inilah mendorong para dosen membuat
alat ukur dengan berbagai alat tes. Dulu orang percaya soal pilihan ganda cukup
akurat. Belakangan, orang yakin soal pilihan ganda adalah kekonyolan sehingga
perlu ditinggalkan.
Untuk menggantikan itu, para dosen membuat alat
ukurlain, misal ujian tulis, menulis makalah, atau portofolio.
4. Apakah IPK Cukup Akurat untuk
Menilai Prestasi Mahasiswa?
Jika digunakan untuk mengukur aspek kognitif, tes-tes
tertulis mungkin cukup memadai. Tapi, tes-tes semacam itu tidak bisa membaca
aspek aspek kemanusiaan lain, misalnya keyakinan, penghayatan, dan pengamalan.
Padahal ketiga hal itu merupakan tujuan tertinggi pendidikan.
Ada sebuah kasus. Seorang guru agama Islam menggelar
ujian lisan dan meminta siswanya menghafal surat Al-Maa’uun. Siswa A mendapat
nilai bagus karena hafal surat pendek itu. Tapi siswa B justru mendapat nilai
jelek. Siswa B tidak hafal surat Al Ma’un, meskipun ia hafal surat Ali Imron.
5. Benarkah Orang Tua Kita Senang IPK
Kita Tinggi?
Tiap orang tua berharap anaknya jadi orang baik apapun
profesinya. Jika anaknya kuliah, tentu saja orang tua ingin anaknya jadi lebih
cerdas dari sebelumnya. Beberapa orang tua bangga anaknya ber-IP tinggi karena
bisa dijadikan bahan obrolan di kantor. Beberapa orang tua senang anaknya cepat
lulus supaya bisa dipamerkan dengan tetangga.
Tapi ada juga orang tua yang tak ambil pusing dengan
IPK anaknya. Mereka woles. Asal kamu bahagia, dia ikut bahagia juga, berapapun
IPK mu.
6. Jika IPK Saya Rendah, Apakah Berarti
Saya Bodoh?
Masih ingat pidato kelulusan? Lulusan terbaik itu
menyinggung satu hal penting. “ Saya lulus. Seharusnya saya menganggapnya
sebagai sebuah pengalaman yang menyenangkan, terutama karena saya adalah
lulusan terbaik di kelas saya. Namun setelah direnungkan saya tidak bisa
mengatakan kalau saya memang lebih pintar dibandingkan dengan teman teman saya.
Yang bisa saya katakan adalah kalau saya memang adalah yang terbaik dalam
melakukan apa yang diperintahkan kepada saya dan juga dalam hal mengikuti
sistem yang ada.” Erica percaya, untuk dapat nilai bagus mahasiswa hanya harus
melakukan hal yang sangat sederhana : turuti dosen. Kalau bisa beri lebih yang
mereka minta. Dosen suruh buat 1 makalah, buatlah 3 makalah. Dosen minta anda
presentasi, berkhutbahlah! Dosen minta anda rajin kuliah, berangkatlah ke
kampus sebelum Subuh.
Tapi itu pilihan yang punya resiko juga. Jika kamu
terlalu sibuk menuruti keinginan dosen, kamu justru tidak sempat menuruti
keinginanmu sendiri.
Saat mahasiswa lain naik gunung, kamu di kos kerjakan
laporan praktikum. Saat temanmu rafting di Serayu, kamu justru buat paper.
Sementara temanmu pergi ke bioskop bersama pacar, kamu malah antri di servisan
komputer gara-gara leptopmu njebluk!
7. Apakah IPK Berpengaruh Terhadap Masa
Depan Saya?
Tergantung kamu pengin jadi apa kelak. Kalau mau jadi
karyawan tentu kamu perlu IPK bagus supaya bisa ikut rekrutmen. Tapi kalau kamu
pengin jadi pengusaha, yang lebih kamu perlukan adalah kecakapan berinovasi dan
mental baja.
Kalau kamu pengin jadi pengacara dan buka firma hukum
sendiri, IPK tinggi juga tidak mutlak diperlukan. Yang lebih kamu perlukan
adalah kecakapan analisis.
Kalau kamu pengin jadi seniman, berkreasilah. Buatlah
sesuatu yang bisa dinikmati banyak orang.
8. Benarkah Perusahaan Suka Karyawan
Ber-IPK Tinggi?
Beberpa perusahaan membuat syarat ketat saat
rekrutmen. Biasanya mereka hanya mengizinkan sarjana dengan IPK diatas 2,75
untuk ikut seleksi. Sikap perusahaan ini menurut beberapa analisis bukan
strategi merekrut mahasiswa cerdas. Mereka hanya sedang menghindari merekrut
karyawan malas. Sebab IPK 2,75 itu standar. Itu bisa diperoleh dengan cara cara
standar. Berangkat kuliah, presensi, nulis makalah, lalu ikut ujian. Jika IPK
mu dibawah itu, ada kemungkinan kamu malas. Itu saja.
9. Apakah IPK Membantu Kita Memperoleh
Jodoh Idaman?
Menurut analisis psikologi sosial Prof Yamato, jumlah
cowok yang tertarik dengan cewek karena kecerdasannya tidak lebih banyak
daripada jumlah cowok yang tertarik dengan cewek karena fisiknya. Kalau kamu
tidak percaya, perhatikanlah saat cowok ngobrol dengan cewek yang baru
dikenalnya. Dia memang berlagak memperhatikan pembicaraan, tapi percayalah
pandangan matanya akan meluber kemana mana.
Begitu pula buat cowok nih. Cewek tidak tertarik
dengan cowok pintar (apalagi sok pintar!). Lebih banyak perempuan justru lebih
tertarik dengan laki laki yang membuatnya nyaman. Kamu bisa lihat sendiri di
sekolah. Populasi jomblo lebih banyak diisi oleh pecinta karya ilmiah. Cowok
yang bisa masukkan bola ke keranjang setinggi 3 meter justru sering gonta ganti
pacar kan?
10. Apakah Calon Mertua Menanyakan IPK Saat Lamaran?
Tentu saja iya (jika calon mertuamu adalah dosen
pembimbing skripsimu di kampus). Bukan cuma tanya IPK, dia bahkan akan tanya
kenapa rasio sample dan populasi tidak representatif. Dia akan tanya bagaimana
data A dan B ditriangulasikan. Tapi kalau calon mertuamu adalah dai, dia tidak
akan tanya IPK. Dia cuma akan memintamu sholat yang rajin.
11. Apakah IPK Tinggi Bisa Digunakan ke Bank?
Tidak! Bank tidak peduli dengan kepintaran orang di
sekolah. Bank lebih peduli pada kepintaran orang menghasilkan uang. Ini memang
fakta yang kejam. Tapi memang begitulah cara bank bekerja. Mereka bisa memberi
kredit 5 miliar pada juragan tanah lulusan SD, tapi susah sekali
12. Berapa IPK yang Diperlukan Agar Bisa Jadi Presiden?
IPK Joko Widodo saat kuliah di Fakultas Kehutanan
Universitas Gadjah Mada hanya 3,05. Tapi dia jadi presiden negara terbesar
keempat di dunia.
Presiden Amerika Serikat Barack Obama lulus dari
Jurusan Ilmu Politik Columbia Univercity, tapi tanpa penghargaan. Konon dia
bisa diterima di Harvard Law School karena politik afirmasi ras. Selain itu,
saat karirnya sedang bersinar sebagai tokoh politik berhaluan liberal.
Tersebar guyon, sarjana dengan nilai A atau cocoknya
jadi dosen, peneliti, atau ilmuwan. Kalau nilainya B cocok jadi karyawan atau
PNS. Kalau nilainya C cocok jadi pengusaha. Kalau C atau D cocoknya jadi
politisi.
13. Jika Ditanya, Apa yang Dibawa Mati? Nilai IPK atau
Proses Mendapatkan IPK?
Sebagi orang yang beriman tentu kita sudah tahu
jawabannya.
14. Apakah Soekarno Pernah Nyontek Supaya dapat IPK Bagus?
Saat sekolah Teknik di Bandung dia pernah bekerja sama
dengan mahasiswa lain saat ujian. Dan dia menyebut itu sebagai “gotong-royong”. Tidak percaya? Bacalah
buku Penyambung Lidah Rakyat karya Cindy Adam.
15. Pertanyaan yang Terpenting Kapan Kampus Akan Berhenti
Memproduksi IPK?
Segera. Tidak lama lagi orang tidak percaya lagi
dengan oenilaian kuantitatif. Masyarakat ingin penilaian akademik yang lebih
otentik. Saat itulah kampus akan berhenti memproduksi angka-angka.
Sumber : Bangun Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar